Minggu, 14 Oktober 2012

Kecerdasan Beragama dalam Perspektif Psikologis


Secara psikologis, kecerdasan beragama seorang anak akan mengalami perkembangan sesuai dengan usia dan perkembangan fungsi mental lainnya. Pada usia 0-2 tahun, kecerdasan beragama anak secara umum berada dalam tahap reseptif (menerima) segala bentuk pengetahuan, pengalaman dan berbagai nilai-nilai keagamaan. Sejalan dengan berkembangnya fungsi panca indra (An-Nahl : 78), bahasa dan fungsi kognitif anak, pada tahap ini anak dapat menerima dan memberikan respon sederhana terhadap pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan yang diberikan lingkungan sosialnya. Suasana social yang menghadirkan berbagai pengetahuan keagamaan (misalnya subhanallah anak ibu sudah merangkak, Alhamdulillah makannya banyak), pengalaman keagamaan (misalnya mengajak anak berdo’a sebelum/sesudah makan, berdo’a ketika ada hujan atau petir, mengajak atau memperlihatkan kegiatan berwudlu dan sholat pada anak) dan nilai-nilai keagamaan (seperti “makannya harus dihabiskan nanti mubazir”, “ya kita bersyukur ayah mendapatkan oleh-oleh buah-buahan). Dalam beberapa peristiwa, anak akan meniru (imitasi) dan mengidentifikasi pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan yang telah diterimannya, terutama ketika berinteraksi dengan teman-temannya atau lingkungan social lainnya. Suasana keagamaan yang dihadirkan oleh lingkungan social akan sangat berpengaruh terhadap proses imitasi dan identifikasi anak dalam menunjukkan berbagai kebiasaan berbicara, bersikap dan berperilaku. Seluruh suasana keagamaan yang dihadirkan tersebut akan menjadi dasar yang dipergunakan anak untuk melakukan interaksi keberagamaan, baik untuk dirinya sendiri maupun ketika berinteraksi dengan lingkungan social lainnya. Hal ini sekaligus menjadi dasar bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan beragamanya.
Pada usia 2-4 tahun, kecerdasan beragama anak mulai mengalami perkembangan sejalan dengan luasnya interaksi social, perkembangan bahasa dan kognitifnya. Pada usia ini, anak sudah mulai meyakini akan adanya hal-hal yang ghaib (seperti hantu, pocong atau vampire). Kayakinan seperti ini dalam kebanyak anak berpengaruh terhadap sebagian sikap dan perilakunya, misalnya ketika beberapa anak usia 2 tahun, 3 tahun dan 4 tahun bermain bersama kemudian sampai pada suatu rumah kosong, tiba-tiba mereka semua berlari terbirit-birit sambil berkata “ada hantu di rumah itu”. Kejadian seperti ini merupakan pertanda bahwa anak pada usia 2-4 tahun sudah menampakan kecerdasan beragama dalam bentuk imitative-imajinatif. Seluruh pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan akan ditiru (imitasi) dan direfleksikan dalam berbagai khayalan (imajinatif). Proses imitasi dan imajinasi keagamaan akan sangat tergantung pada bagaimana lingkungan sosialnya memberikan pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan pada anak-anak. Jika lingkungan social terbiasa menyajikan pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang berbau mistik dan kurafat maka anak akan menerima serta mengolah pengetahuan dan pengalaman seperti itu sebagai bagian dari proses keberagamaan anak.
Pada usia 4-6 tahun, kecerdasan beragama anak juga mulai tampak dengan bertanya tentang Tuhan itu siapa atau siapa Allah itu ? dimana tempat tinggalnya Allah ? Allah itu suka makan atau tidak ? Berbagai pertanyaan seperti ini menunjukkan kuatnya perkembangan kognitif anak pada tahap berpikir kongkrit. Berbagai khayalan tentang Tuhan, Malaikat, Syetan dan hal-hal ghaib lainnya akan diimajinasikan sesuai dengan kadar pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang diterima anak. Ketika anak-anak (usia 2-4 tahun) mulai meyakini adanya hal-hal yang ghaib dan mempengaruhi pola sikap serta perilakunya (misalnya berlari, merinding, menangis) maka pada tahap ini konsep ghaib tentang malaikat dan Allah SWT., dapat dihadirkan dengan benar. Proses perkembangan kecerdasan beragama seperti ini sekaligus merupakan awal perkembangan munculnya Ikhsan, suatu konsep keberagamaan yang meyakini bahwa Allah SWT., selalu berada dihadapan kita dan/atau senantiasa dapat melihat setiap ucapan, sikap dan tingkah laku seseorang. Kecerdasan beragama dalam bentuk dan konsep ikhsan akan tumbuhsertan berkembangan pada usia 2-4 tahun jika lingkungan social dapat memberikan nuansa ihksan dalam menjalankan keberagamaan sepanjang hidupnya. Beberapa anak pada usia ini sudah mulai berdo’a dengan tertib, tenang (khusus) bahkan ada yang sampai menangis ketika memohon ampun atau meminta sesuatu pada Allah SWT., Sebagian diantara mereka sudah merasakan kehadiran adanya Allah SWT., dihadapan mereka sejalan dengan mereka meyakini hal-hal ghaib lainnya yang juga diyakini seperti hantu dan genderwo.
Pada tahap usia 6-8 tahun, anak akan mengalami perkembangan yang lebih baik lagi dalam kecerdasan beragama sejalan dengan pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan yang dialami pada tahap sebelumnya. Walaupun dominasi masa-masa imitasi, identifikasi dan imajinasi keagamaan masih berlangsung pada usia ini namun pergerakan yang menunjukkan adanya perkembangan kecerdasan beragama secara lebih kompleks sudah mulai tampak. Anak-anak sudah mulai memperdebatkan tentang kehebatan Tuhan, Malaikat, keindahan syurga dan buruknya neraka walaupun masih dikuasai oleh berbagai kekuatan khayalan dan imajinasinya. Perdebatan yang sifatnya imajinatif tentang berbagai proses keagamaan akan semakin memperkuat kecerdasan beragama anak jika suasana lingkungan keagaan dan proses interaksi keberagamaan diberikan secara benar oleh berbagai konteks lingkungan social anak. Dalam kasus nyata, mulcul dialog antara anak di usia 4-6 tahun sebagai berikut :
Andi berkata pada temannya “kata mamahku semua agama itu benar dan baik, Tuhan yang disembahnya juga sama”.
Dicky menimpali Andi “Tapi kata mamahku dan bu Guru, agama Islam yang paling baik dan benar. Tuhan Allah itu berbeda dengan Tuhannya agama lain”.
Dialog perdebatan seperti itu menunjukkan betapa rujukan social (social references) sangat memberikan warna berpikir, berbicara dan bersikap seorang anak. Preperensi anak dalam beragama akan diwarnai oleh siapa (lingkungan social) yang telah memberikan dan mengisi pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan pada seorang anak. Proses ini sekaligus menjadi penjelas bahwa fitrah (kecenderungan yang bersifat potensial) pada seorang anak akan diwarnai oleh orang tua atau orang dewasa yang akan mempengaruhi anak. Proses seperti ini dapat dikategorikan sebagai bentuk refleksi keberagamaan.  Refleksi keberagamaan dilakukan anak dengan cara mengolah dan menunjukkan keyakinan tertentu sesuai dengan pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keberagamaan yang pernah diterima dan dialami secara langsung. Dalam beberapa hal dan peristiwa, refleksi keberagamaan anak menunjukkan reflesi secara langsung dari konteks social yang telah membina dan mengisi pengatahun serta pengalaman keberagamannya. Berbagai proses keberagamaan seperti khusu dan tertib dalam berdoa, berwudlu, sholat serta kebiasaan bertutur kata dan berakhlak yang baik akan ditunjukkan oleh anak sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan social, terutama orang dewasa yang memiliki peran dan pengaruh dalam pendidikan agama pada anak.
Banyak rujukan pemikiran para ahli terkait dengan perkembangan keberagamaan anak. Arnold Gessel mengungkapkan bahwa anak pada usia bayi sudah mempunyai rasa ketuhanan. Rasa ke-Tuhanan  ini sangat memegang peranan penting dalam diri pribadi anak. Perasaan ketuhanan pada usia ini merupakan fundamen bagi pengembangan perasaan ketuhanan periode berikutnya. Seiring dengan perkembangan kognisi, emosi, dan bahasa anak maka orang tua mejadi lingkungan pertama untuk untuk membantu perkembangan kesadaran beragamanya. Dalam konsepsi lain, Abin Syamsuddin (seperti dikutif Syamsu Yusuf) menggungkapkan kesadaran beragama pada anak usia 2-6 tahun yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut :
-          Sikap keagamaannya bersifat reseptif  (menerima) meskipun banyak bertanya
-          Pandangan ketuhanannya bersifat anthropormorph (dipersonifikasikan )
-          Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam)meskipun mereka telah melakukan atau berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual
-          Hal ketuhanan dipahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya ) sesuai denga taraf berpikirnya yang masih egosentrik (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya)

Zakiah Darajat seperti yang dikutif Syamsu Yusuf mengatakan bahwa umur taman kanak – kanak adalah umur yang paling subur untuk menanamkan rasa keagamaan  pada anak – anak. Umur untuk menumbuhkan kebiasaan- kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama. Melalui permainan dan perlakuan dari orang tua dan guru. Keyakinan dan kepercayaan guru taman kanak- kanak akan mewarnai  pertumbuhan agama pada anak.
Hurlock memberikan pandangan lain bahwa untuk membuat anak kecil mengerti agama, konsep keagamaan diajarkan dalam bahasa sehari-hari dengan contoh dari kehidupan sehari-hari. Dengan demikian konsep  menjadi konkret dan realitas. Hurlock juga berpendapat pada rentang usia ini (3-5 Tahun) kebanyakan anak mulai bertanya tentang agama. Misalnya “Siapakah Tuhanku” , “Dimana surga itu ? “, Apa arti kematian ? “,”Apakah Malaikat itu ?”, dan lain sebagainya.  
Perkembangan konsep keberagamaan pada anak sebenarnya merupakan bagian potensi yang telah diberikan Allah SWT., pada seorang anak ketika dilahirkan, bahkan ketika di alam ruh.       Al – Ghazali berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan membawa fitrah yang seimbang dan sehat. Kedua orangtuanyalah yang memberikan agama kepada mereka. Demikian pula anak dapat terpengaruh oleh sifat – sifat yang buruk. Ia memepelajari sifat – sifat yang buruk dari lingkungan yang dihidupinya, dari corak hidup yang memberikan peranan kepadanyadan dari kebiasaan – kebiasaan yang dilakukannya. Ketika dilahirkan, keadaan tubuh anak belum sempurna. Kekurangan ini diatasinya dengan latihan dan pendidikan yang ditunjang dengan makanan. Demikian pula dengan tabiat yang difitrahkan kepada anak, yang merupakan kebajikan yang diberikan AL –Khalik kepadanya. Tabiat ini dalam keadaan berkekurangan. ( dalam keadaan belum berkembang dengan sempurna ). Dan mungkin dapat disempurnakan serta diperindah dengan pendidikan yang baik, yang oleh Al –Ghazali dipandangsebagai salah satu proses yang penting dan tidak mudah.
Pendapat lain mengungkapkan bahwa Menurut, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting diantaranya insting keagamaan (Woodworh dalam Jalaluddin, 2001 : 28). Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna. Konsepsi tersebut diperluas konsepnya oleh Thomas yang mengemukakan teori Four Wishes. Menurut Thomas, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki 4 keinginan yaitu : keinginan untuk perlindungan  ( security ), keinginan akan pengalaman baru ( new experience ), keinginan untuk mendapat tanggapan ( response ), dan keinginan untuk dikenal ( recognation ). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka sejak bayi dilahirkan hidup dalam ketergantungan, melalui pengalaman – pengalaman yang diterimanyadari lingkungan itu kemudian terbentulah rasa keagamaan pada diri anak. Selain konsep teoritik di atas, perkembangan keberagama anak dapat dilihat dari karakteristik mental sesuai dengan usia kalender anak. Karakteristik perkembangan konsep keberagamaan dapat digambarkan sebagai berikut:
·    1 TAHUN
-          Anak belum memahami konsep agama, baru pada tahap meniru saja
-          Mampu menirukan gerakan – gerakan sholat walaupun masih sangat terbatas
-          Mengikuti do’a yang diajarkan oleh orang tuanya tanpa pemahaman
·    2 Tahun
-          Anak belum mengetahui konsep Tuhan dengan benar
-          Hanya tahu dan mendengar dari cerita orang tua dan orang lain
-          Dapat membiasakan berbuat baik, bertutur kata yang mengandung    nilai agama
-          Dapat diikut sertakan dalam kegiatan ibadah daan sudah bisa dilarang jika berbuat salah
·       3 – 6 Tahun
-          Belum memahami atau megenal Tuhan tetapi suka bertanya tetang keberadaan-Nya
-          Pemahamannya mengenai hal-hal gaib dipengaruhi oleh daya fantasi dan emosinya
-          Menyenangi cerita-cerita tidak masuk akal (tahap dongeng)
-          Senang meniru kegiatan ibadah dari orang dewasa atau orang lain
-           Bersifat egosentris, misalnya berdo’a adalah cara untuk mecapai kehendak
·     6-8 Tahun
-          Anak berbuat baik karena ingin mendapat pujian
-          Anak sudah dapat menyesuaikan diri dengan yaag diinginkan kelompok sosialnya dan mana yang harus dijauhi
-          Anak mulai patuh terhadap tuntutan atau aturan orang tua dan lingkungan sosialnya

Memahami konsep kegamaan pada anak – anak berarti memahami sifat agama pada anak – anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak – anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority yaitu konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Bagi anak, sangat mudah mempelajari  atau menerima ajaran dari orang dewasa, walaupun mereka belum manyadari sepenuhnya ajaran tersebut. Berdasrkan hal itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas : 
1.  UNREFLECTIVE
Istilah unreflective menurut John Eckol ( 1995 ) dapat dimaknai sebagai tidak mendalam, tidak / kurang dapat memikirkan secara mendalam atau anak tidak dapat merenungkannya. Artinya salah satu sifat anak dalam memahami pengetahuan / ajaran agama, tidak merupakan hal yang harus dipedulikan dengan serius. Kalaupun mereka belajar dan mengerjakannya, itu mereka lakukan dengan sikap dan sifat dasar kekanak – kanakannya.
2.  EGOSENTRIS
Dalam mempelajarinya nilai –nilai agama, sering kita temukan anak belum mampu bersikap dan bertindak konsisten. Terkadang suatu ketika anak menjadi sangat rajin dan antusias ketika mengikuti dan mengerjakan kegiatan keagamaan, namun di saat yang lain kitapun tidak jarang  menemukan perilaku sebaliknya.
3.  MISUNDERSTAND
Ketika kita mengenalkan berbagai hal yang berkaitan dengan nilai – nilai keagamaan terkadang hal misunderstand sering muncul pada diri anak anak, yaitu salah persepsi dalam memahami makna dari sebuah pengetahuan agama. Apalagi jika yang kita bicarakan adalah sesuatu yang abstrak. Misalnya ketika kita membicarakan keberadaan Allah. Semua itu terjadi karena belum sempurnanya komponen psikologis dan fisiologis anak. Seperti tang diungkapkan oleh sistem pendidikan neo humanis dalam masalah spritualitas dikatakan bahwa : ” bagi anak kecil, segala – galanya adalah hidup, dan menjadi sumber kekaguman” ( I. Ketut, 1999 : h. 84 ).
4.  VERBALIS DAN RITUALIS
Anak usia taman kanak – kanak pada usia 3 –6 tahun, berada pada fase perkembangan kosa kata yang sangat pesat. Seperti yang diungkapkan oleh Elizabeth  B.H. ( 1997 : 188 ) ; setiap anak belajar berbicara, mereka berbicara hampir tidak putus – putusnya. Keterampilan baru yang diperoleh, menimbulkan rasa penting bagi mereka. Kondisi seperti ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan nilai – nilai agama pada anak, dengan cara memperkenalkan pengetahuan agama berupa istilah, bacaan dan ungkapan yang bersifat agamis seperti hafalan – hafalan do’a dan surat – surat pendek dalam Al –qur’an, nama – nama Malaikat, dan lain sebagainya.
5.  ANTHROMORPHIS
Pada umumnya, konsep keagamaan pada anak berasal dari hasil pengalamannya saat anak berhubungan dengan orang lain. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa Tuhan itu sama dengan manusia. Konsep ke – Tuhanan yang mereka miliki berdasarkan fantasi masing – masing. Seperti contoh : menurut penelitian Praff, pandangan anak yang berusia 6 tahun yaitu  Tuhan mempunyai wajah seperti manusia.
6.  IMITATIF
Dalam kehidupan sehari – hari dapat diamati bahwa tindak keagamaan pada diri anak diperoleh dari meniru ( imitatif ). Para ahli jiwa menganggap bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung.  Sifat peniru ini merupakan modal dasar  yang positif dalam pendidikan kegamaan pada anak. Anak melaksanakan kegiatan seperti berdo’a dan sholat merupakan hasil dari pembiasaan atau pengajaran yang intensif yang mereka lihat dari lingkungan sekitarnya.
7.  RASA HERAN
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak namun belum bersifat kritis dan kreatif seperti layaknya rasa kagum pada orang dewasa. Anak hanya kagum pada keindahan lahiriahnya saja. Rasa kagum  pada anak sering dapat disalurkan melalui cerita – cerita yang menimbulkan rasa takjub.

Selasa, 09 Oktober 2012

Pendidikan Seks untuk Anak Usia Dini


Pendidikan menurut Undang – Undang nomor 2 tahun 1998 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal I yaitu :
“Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan agar peserta didik tersebut berperan dalam kehidupan masa depannya.”

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991 : 232) pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pengertian pendidikan yang serupa juga dikemukakan oleh Poerbakawatja dan Harahap dalam Muhibbin Syah (1999 : 11) yaitu usaha secara sengaja dan sadar yang dilakukan orang dewasa untuk mengarahkan anak menuju ke kedewasaan yang mampu bertanggung jawab secara moril atas segala perbuatannya.
Pengertian Poerbakawatja dan Harahap di atas tentang pendidikan mengacu pada upaya untuk mendewasakan manusia dengan orang dewasa sebagai penyelenggara pendidikan. Berbeda dengan definisi Undang – Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tidak menyebutkan orang dewasa sebagai penyelenggara pendidikan. Definisi dewasa masih memerlukan batasan yang tegas. Kedewasaan itu sendiri dapat diartikan sebagai orang yang sudah berusia cukup tua atau masih berusia muda tetapi memilki kecakapan yang setara dengan orang yang berusia cukup tua.
Definisi pendidikan menurut Suyudi dalam Pendidikan dalam Persfektif Al – Quran yaitu seluruh aktivitas atau upaya secara sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik terhadap semua aspek perkembangan kepribadian baik secara jasmani maupun rohani, secara formal, informal maupun non formal yang berjalan terus menerus  untuk mencapai kebahagiaan dan nilai yang tinggi baik nilai insaniyah maupun ilahiyah (2005 : 54). Definisi ini sesuai dengan pandangan “Long life education“, yaitu pendidikan seumur hidup dan tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Pendapat Suyudi di atas menggambarkan pendidikan yang tidak hanya sekedar mentransfer pengetahuan dan hanya sekedar “to know “, akan tetapi bagaimana pendidikan itu dapat membentuk kepribadian seseorang untuk menjadi individu yang diharapkan dan juga sebagai mahluk sosial yang dapat hidup bersama – sama.
Beberapa pendapat tentang definisi pendidikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah upaya secara sadar untuk mendewasakan diri dalam semua aspek, agar menjadi individu yang bertanggung jawab dan mencapai kebahagiaan, melalui jalur formal maupun informal secara terus menerus.
Ada pun menurut Umar Tirtahardja dan S.L. La Sulo (1995 : 58), pendidikan terdiri dari beberapa unsur, yaitu : (1).  Peserta didik, (2). Pendidik, (3). Interaksi  edukatif, (4). Alat dan metode, (5). Tujuan, (6). Materi, (7). Tempat. Semua unsur pendidikan tersebut saling berkaitan dalam pelaksanaan proses pendidikan.
Pengertian seks dalam bahasa Indonesia mempunyai arti jenis kelamin. Jenis kelamin ini memberikan gambaran tentang sesuatu sifat atau ciri laki – laki dan perempuan. Dari penggambaran perbedaan antara laki- laki dan perempuan tersebutlah yang menimbulkan perbedaan perlakuan antara laki – laki dan perempuan. Hal tersebut senada dengan pendapat E. Saringendyati W. (1998 : 20), yang menyatakan bahwa seks seringkali mengacu pada artian jenis kelamin.
          Sedangkan pendidikan seks menurut Abdullah Nashis Ulwan yaitu upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah – masalah seksual kepada anak, sejak ia mengenal masalah – masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan (1999 : 1). Naluri seks yang dimaksud pada pendapat di atas mempunyai arti sesuai dengan tahapan perkembangan anak dalam rangka pencegahan terjerumusnya anak – anak dalam kegiatan seks yang merugikan diri mereka sendiri dan perusakan moral kaum muslimin.
 Untuk anak usia dini yaitu 0 – 8 tahun, naluri seks anak terlihat pada saat mereka menyadari kondisi dan peran dirinya sebagai laki – laki dan perempuan. Hal itu dikemukakan oleh Hilman Al Madani (2004 : 20), bahwa pendidikan seks pada anak usia dini membicarakan tentang totalitas sebagai laki – laki dan perempuan, baik itu yang dipercaya, yang dipikirkan dan dirasa tentang diri mereka, bagaimana reaksinya terhadap lingkungan, yang mencerminkan sosok identitas diri mereka. Pendapat di atas senada dengan pendapat Arief Rachman yang mendefinisikan pendidikan seks anak usia dini  sebagai pendidikan jati diri kekelaminan (Arif Rahman, 2002 : 65). Dua pendapat tersebut melihat arti pendidikan seks berdasarkan usia anak – anak yang masih di bawah masa akil baligh, tepatnya masih berada pada masa tamyiz, yaitu masa penting dalam penanaman pondasi etika dan norma. Sehingga di dalam pendidikan seks tidak hanya membicarakan tentang aktivitas dan segala sesuatu yang berkenaan dengan organ seks. Akan tetapi, mencakup tentang etika, norma dan nilai – nilai yang berlaku dimasyarakat.
Dua pendapat di atas diperkuat juga oleh Sigmund Freud yang mengatakan bahwa anak pada rentang usia 3 – 5 tahun berada dalam tahap phallic, yaitu perhatian anak pada saat ini berhubungan dengan peran seksnya. Dalam rentang usia ini, anak bereksplorasi tentang peran dirinya dalam kehidupan sekitar. Di masa ini mereka akan mengalami proses memahami peran jenis kelamin mereka, termasuk motif, nilai dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelamin, hal ini  dikenal dengan penggolongan gender. Seperti yang dikemukakan Aliah B. Purwakania Hasan dalam Psikologi Perkembangan Islami  (2006 : 237) tentang penggolongan gender yaitu proses di mana anak mendapatkan identitas gender sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Seperti yang terlihat saat ini masyarakat masih memiliki standar peran jenis kelamin. Masih ada batasan dalam berprofesi, bertingkah laku dan juga berpenampilan.
Dari beberapa pengertian seks di atas, dapat dilihat bahwa pengertian seks tidaklah sesempit yang selama ini para orang tua pikirkan. Pendidikan seks tidak hanya seputar hubungan kelamin dua insan. Tetapi menyangkut berbagai hal dari jenis kelamin, pengetahuan tentang alat kelamin termasuk didalamnya perawatan dan permasalahannya, serta mengenal identitas dan peran seks yang berlaku di masyarakat berikut norma, etika dan harapan masyarakat.
Dari dimensi psikologis, seksualitas berhubungan erat dengan tata cara menjalankan fungsi sebagai mahluk seksual dalam perannya diberbagai dimensi, seperti dimensi sosial, dimensi perilaku dan dimensi kultural. Hal itu senada dengan pendapat E.Saringendyanti W (1998 : 20). yang menyatakan bahwa seksualitas memiliki arti yang lebih luas menyangkut karakter dan kualitas pribadi, atau sikap dan tingkah laku seseorang. Dimensi sosial melihat hubungan seksual dengan lingkungan dan sesama manusia. Hal tersebut adalah faktor yang dapat mempengaruhi pandangan seseorang tentang seksualitas dan perilaku seks. Sedangkan dimensi perilaku berkaitan dengan perilaku seksual seseorang yang muncul karena dorongan seksual. Kemudian, dimensi kultural menunjukan perilaku seksual yang menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat.
Ada pun perkembangan tingkah laku sesuai dengan jenis kelamin menurut Jans dalam F.J. Monks, Knoers dan Siti Rahayu Haditono (2004 : 192)  dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : (1) Faktor biologis, (2) Faktor sosial, (3) Faktor kognitif. Faktor – faktor yang dikemukakan Jans tersebut memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain, seperti dalam hal biologis, faktor – faktor biologis merupakan dasar bagi perkembangan tingkah laku spesifik jenis kelamin. Sedangkan faktor sosial memberikan pengaruh yang besar dalam mengenali identitas kelamin melalui norma -  norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Faktor kognitif merupakan faktor yang sangat penting, karena seseorang harus memahami kategori dirinya sendiri sabagai perempuan atau laki – laki.   

Minggu, 07 Oktober 2012

Definisi Kreativitas


Kreativitas merupakan salah satu dimensi potensi manusia yang hakiki yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya. Potensi ini merupakan anugerah sekaligus perhargaan Allah SWT., terhadap ciptaannya yang bernama manusia. Sampai-sampai manusia ditempatkan pada kedudukan “khalifatullah fil ardi”, pemimpin atau penerus ajaran Allah di muka bumi. Dengan menggunakan dan mengembangkan potensi ini, manusia dapat menemukan, merancang dan menciptakan berbagai sarana serta kekuatan untuk menembus bumi (mencari sumber kekayaan bumi seperti minyak bumi, gas bumi), menyelam dan mengarungi samudra laut yang sangat dalam dan luas serta menembus awan dan angkasa luar.
Kreativitas secara sederhana dapat didefinisikan kemampuan menemukan, menyusun, memodifikasi dan menciptakan hal-hal yang baru. Pengertian ‘baru’ dalam konteks ini tidaklah perlu diterjemahkan secara kaku sebagai suatu hal yang harus orisinal (asli) walaupun beberapa teori membuat indikator itu. Sebagai suatu kemampuan, kreativitas dapat diibaratkan sebagai suatu ‘ruh’ yang mampu memasuki setiap ruas dan relung-relung raga sehingga menimbulkan berbagai aktivitas, seperti mulut berbicara, tangan dan kaki digerakan, pikiran diarahkan. ‘Ruh’ kreatif juga dapat memasuki dimensi kemampuan berbahasa, kemampuan daya pikir, motorik halus, dan motorik kasar.