Pendidikan menurut Undang – Undang nomor 2 tahun 1998
tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal I yaitu :
“Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau
latihan agar peserta didik tersebut berperan dalam kehidupan masa depannya.”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991 : 232)
pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Pengertian pendidikan yang serupa juga dikemukakan oleh Poerbakawatja dan
Harahap dalam Muhibbin Syah (1999 : 11) yaitu usaha secara sengaja dan sadar
yang dilakukan orang dewasa untuk mengarahkan anak menuju ke kedewasaan yang
mampu bertanggung jawab secara moril atas segala perbuatannya.
Pengertian Poerbakawatja dan Harahap di atas tentang
pendidikan mengacu pada upaya untuk mendewasakan manusia dengan orang dewasa
sebagai penyelenggara pendidikan. Berbeda dengan definisi Undang – Undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tidak menyebutkan orang dewasa sebagai
penyelenggara pendidikan. Definisi dewasa masih memerlukan batasan yang tegas.
Kedewasaan itu sendiri dapat diartikan sebagai orang yang sudah berusia cukup
tua atau masih berusia muda tetapi memilki kecakapan yang setara dengan orang
yang berusia cukup tua.
Definisi pendidikan menurut Suyudi dalam Pendidikan dalam
Persfektif Al – Quran yaitu seluruh aktivitas atau upaya secara sadar yang
dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik terhadap semua aspek perkembangan
kepribadian baik secara jasmani maupun rohani, secara formal, informal maupun
non formal yang berjalan terus menerus
untuk mencapai kebahagiaan dan nilai yang tinggi baik nilai insaniyah
maupun ilahiyah (2005 : 54). Definisi ini sesuai dengan pandangan “Long life
education“, yaitu pendidikan seumur hidup dan tidak terbatas oleh waktu dan
tempat. Pendapat Suyudi di atas menggambarkan pendidikan yang tidak hanya
sekedar mentransfer pengetahuan dan hanya sekedar “to know “, akan
tetapi bagaimana pendidikan itu dapat membentuk kepribadian seseorang untuk
menjadi individu yang diharapkan dan juga sebagai mahluk sosial yang dapat
hidup bersama – sama.
Beberapa pendapat tentang definisi pendidikan di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah upaya secara sadar untuk
mendewasakan diri dalam semua aspek, agar menjadi individu yang bertanggung
jawab dan mencapai kebahagiaan, melalui jalur formal maupun informal secara
terus menerus.
Ada pun menurut Umar Tirtahardja dan S.L. La Sulo (1995 :
58), pendidikan terdiri dari beberapa unsur, yaitu : (1). Peserta didik, (2). Pendidik, (3).
Interaksi edukatif, (4). Alat dan
metode, (5). Tujuan, (6). Materi, (7). Tempat. Semua unsur pendidikan tersebut
saling berkaitan dalam pelaksanaan proses pendidikan.
Pengertian seks dalam bahasa Indonesia mempunyai arti
jenis kelamin. Jenis kelamin ini memberikan gambaran tentang sesuatu sifat atau
ciri laki – laki dan perempuan. Dari penggambaran perbedaan antara laki- laki
dan perempuan tersebutlah yang menimbulkan perbedaan perlakuan antara laki –
laki dan perempuan. Hal tersebut senada dengan pendapat E. Saringendyati W.
(1998 : 20), yang menyatakan bahwa seks seringkali mengacu pada artian jenis
kelamin.
Sedangkan
pendidikan seks menurut Abdullah Nashis Ulwan yaitu upaya pengajaran,
penyadaran dan penerangan tentang masalah – masalah seksual kepada anak, sejak
ia mengenal masalah – masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan
(1999 : 1). Naluri seks yang dimaksud pada pendapat di atas mempunyai arti sesuai
dengan tahapan perkembangan anak dalam rangka pencegahan terjerumusnya anak –
anak dalam kegiatan seks yang merugikan diri mereka sendiri dan perusakan moral
kaum muslimin.
Untuk anak usia
dini yaitu 0 – 8 tahun, naluri seks anak terlihat pada saat mereka menyadari
kondisi dan peran dirinya sebagai laki – laki dan perempuan. Hal itu
dikemukakan oleh Hilman Al Madani (2004 : 20), bahwa pendidikan seks pada anak
usia dini membicarakan tentang totalitas sebagai laki – laki dan perempuan,
baik itu yang dipercaya, yang dipikirkan dan dirasa tentang diri mereka,
bagaimana reaksinya terhadap lingkungan, yang mencerminkan sosok identitas diri
mereka. Pendapat di atas senada dengan pendapat Arief Rachman yang
mendefinisikan pendidikan seks anak usia dini
sebagai pendidikan jati diri kekelaminan (Arif Rahman, 2002 : 65). Dua
pendapat tersebut melihat arti pendidikan seks berdasarkan usia anak – anak
yang masih di bawah masa akil baligh, tepatnya masih berada pada masa tamyiz,
yaitu masa penting dalam penanaman pondasi etika dan norma. Sehingga di dalam
pendidikan seks tidak hanya membicarakan tentang aktivitas dan segala sesuatu
yang berkenaan dengan organ seks. Akan tetapi, mencakup tentang etika, norma
dan nilai – nilai yang berlaku dimasyarakat.
Dua pendapat di atas diperkuat juga oleh Sigmund Freud
yang mengatakan bahwa anak pada rentang usia 3 – 5 tahun berada dalam tahap phallic,
yaitu perhatian anak pada saat ini berhubungan dengan peran seksnya. Dalam
rentang usia ini, anak bereksplorasi tentang peran dirinya dalam kehidupan
sekitar. Di masa ini mereka akan mengalami proses memahami peran jenis kelamin
mereka, termasuk motif, nilai dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelamin,
hal ini dikenal dengan penggolongan
gender. Seperti yang dikemukakan Aliah B. Purwakania Hasan dalam Psikologi
Perkembangan Islami (2006 : 237) tentang
penggolongan gender yaitu proses di mana anak mendapatkan identitas gender
sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Seperti yang terlihat saat ini
masyarakat masih memiliki standar peran jenis kelamin. Masih ada batasan dalam
berprofesi, bertingkah laku dan juga berpenampilan.
Dari beberapa pengertian seks di atas, dapat dilihat
bahwa pengertian seks tidaklah sesempit yang selama ini para orang tua
pikirkan. Pendidikan seks tidak hanya seputar hubungan kelamin dua insan.
Tetapi menyangkut berbagai hal dari jenis kelamin, pengetahuan tentang alat
kelamin termasuk didalamnya perawatan dan permasalahannya, serta mengenal
identitas dan peran seks yang berlaku di masyarakat berikut norma, etika dan
harapan masyarakat.
Dari dimensi psikologis, seksualitas berhubungan erat
dengan tata cara menjalankan fungsi sebagai mahluk seksual dalam perannya
diberbagai dimensi, seperti dimensi sosial, dimensi perilaku dan dimensi
kultural. Hal itu senada dengan pendapat E.Saringendyanti W (1998 : 20). yang
menyatakan bahwa seksualitas memiliki arti yang lebih luas menyangkut karakter
dan kualitas pribadi, atau sikap dan tingkah laku seseorang. Dimensi sosial
melihat hubungan seksual dengan lingkungan dan sesama manusia. Hal tersebut
adalah faktor yang dapat mempengaruhi pandangan seseorang tentang seksualitas
dan perilaku seks. Sedangkan dimensi perilaku berkaitan dengan perilaku seksual
seseorang yang muncul karena dorongan seksual. Kemudian, dimensi kultural
menunjukan perilaku seksual yang menjadi bagian dari budaya yang ada di
masyarakat.
Ada pun perkembangan tingkah laku sesuai dengan jenis
kelamin menurut Jans dalam F.J. Monks, Knoers dan Siti Rahayu Haditono (2004 :
192) dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu
: (1) Faktor biologis, (2) Faktor sosial, (3) Faktor kognitif. Faktor – faktor
yang dikemukakan Jans tersebut memiliki hubungan antara yang satu dengan yang
lain, seperti dalam hal biologis, faktor – faktor biologis merupakan dasar bagi
perkembangan tingkah laku spesifik jenis kelamin. Sedangkan faktor sosial
memberikan pengaruh yang besar dalam mengenali identitas kelamin melalui norma
- norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat. Faktor kognitif merupakan faktor yang sangat penting, karena
seseorang harus memahami kategori dirinya sendiri sabagai perempuan atau laki –
laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar