Selasa, 09 Oktober 2012

Pendidikan Seks untuk Anak Usia Dini


Pendidikan menurut Undang – Undang nomor 2 tahun 1998 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal I yaitu :
“Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan agar peserta didik tersebut berperan dalam kehidupan masa depannya.”

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991 : 232) pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pengertian pendidikan yang serupa juga dikemukakan oleh Poerbakawatja dan Harahap dalam Muhibbin Syah (1999 : 11) yaitu usaha secara sengaja dan sadar yang dilakukan orang dewasa untuk mengarahkan anak menuju ke kedewasaan yang mampu bertanggung jawab secara moril atas segala perbuatannya.
Pengertian Poerbakawatja dan Harahap di atas tentang pendidikan mengacu pada upaya untuk mendewasakan manusia dengan orang dewasa sebagai penyelenggara pendidikan. Berbeda dengan definisi Undang – Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tidak menyebutkan orang dewasa sebagai penyelenggara pendidikan. Definisi dewasa masih memerlukan batasan yang tegas. Kedewasaan itu sendiri dapat diartikan sebagai orang yang sudah berusia cukup tua atau masih berusia muda tetapi memilki kecakapan yang setara dengan orang yang berusia cukup tua.
Definisi pendidikan menurut Suyudi dalam Pendidikan dalam Persfektif Al – Quran yaitu seluruh aktivitas atau upaya secara sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik terhadap semua aspek perkembangan kepribadian baik secara jasmani maupun rohani, secara formal, informal maupun non formal yang berjalan terus menerus  untuk mencapai kebahagiaan dan nilai yang tinggi baik nilai insaniyah maupun ilahiyah (2005 : 54). Definisi ini sesuai dengan pandangan “Long life education“, yaitu pendidikan seumur hidup dan tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Pendapat Suyudi di atas menggambarkan pendidikan yang tidak hanya sekedar mentransfer pengetahuan dan hanya sekedar “to know “, akan tetapi bagaimana pendidikan itu dapat membentuk kepribadian seseorang untuk menjadi individu yang diharapkan dan juga sebagai mahluk sosial yang dapat hidup bersama – sama.
Beberapa pendapat tentang definisi pendidikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah upaya secara sadar untuk mendewasakan diri dalam semua aspek, agar menjadi individu yang bertanggung jawab dan mencapai kebahagiaan, melalui jalur formal maupun informal secara terus menerus.
Ada pun menurut Umar Tirtahardja dan S.L. La Sulo (1995 : 58), pendidikan terdiri dari beberapa unsur, yaitu : (1).  Peserta didik, (2). Pendidik, (3). Interaksi  edukatif, (4). Alat dan metode, (5). Tujuan, (6). Materi, (7). Tempat. Semua unsur pendidikan tersebut saling berkaitan dalam pelaksanaan proses pendidikan.
Pengertian seks dalam bahasa Indonesia mempunyai arti jenis kelamin. Jenis kelamin ini memberikan gambaran tentang sesuatu sifat atau ciri laki – laki dan perempuan. Dari penggambaran perbedaan antara laki- laki dan perempuan tersebutlah yang menimbulkan perbedaan perlakuan antara laki – laki dan perempuan. Hal tersebut senada dengan pendapat E. Saringendyati W. (1998 : 20), yang menyatakan bahwa seks seringkali mengacu pada artian jenis kelamin.
          Sedangkan pendidikan seks menurut Abdullah Nashis Ulwan yaitu upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah – masalah seksual kepada anak, sejak ia mengenal masalah – masalah yang berkenaan dengan naluri seks dan perkawinan (1999 : 1). Naluri seks yang dimaksud pada pendapat di atas mempunyai arti sesuai dengan tahapan perkembangan anak dalam rangka pencegahan terjerumusnya anak – anak dalam kegiatan seks yang merugikan diri mereka sendiri dan perusakan moral kaum muslimin.
 Untuk anak usia dini yaitu 0 – 8 tahun, naluri seks anak terlihat pada saat mereka menyadari kondisi dan peran dirinya sebagai laki – laki dan perempuan. Hal itu dikemukakan oleh Hilman Al Madani (2004 : 20), bahwa pendidikan seks pada anak usia dini membicarakan tentang totalitas sebagai laki – laki dan perempuan, baik itu yang dipercaya, yang dipikirkan dan dirasa tentang diri mereka, bagaimana reaksinya terhadap lingkungan, yang mencerminkan sosok identitas diri mereka. Pendapat di atas senada dengan pendapat Arief Rachman yang mendefinisikan pendidikan seks anak usia dini  sebagai pendidikan jati diri kekelaminan (Arif Rahman, 2002 : 65). Dua pendapat tersebut melihat arti pendidikan seks berdasarkan usia anak – anak yang masih di bawah masa akil baligh, tepatnya masih berada pada masa tamyiz, yaitu masa penting dalam penanaman pondasi etika dan norma. Sehingga di dalam pendidikan seks tidak hanya membicarakan tentang aktivitas dan segala sesuatu yang berkenaan dengan organ seks. Akan tetapi, mencakup tentang etika, norma dan nilai – nilai yang berlaku dimasyarakat.
Dua pendapat di atas diperkuat juga oleh Sigmund Freud yang mengatakan bahwa anak pada rentang usia 3 – 5 tahun berada dalam tahap phallic, yaitu perhatian anak pada saat ini berhubungan dengan peran seksnya. Dalam rentang usia ini, anak bereksplorasi tentang peran dirinya dalam kehidupan sekitar. Di masa ini mereka akan mengalami proses memahami peran jenis kelamin mereka, termasuk motif, nilai dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelamin, hal ini  dikenal dengan penggolongan gender. Seperti yang dikemukakan Aliah B. Purwakania Hasan dalam Psikologi Perkembangan Islami  (2006 : 237) tentang penggolongan gender yaitu proses di mana anak mendapatkan identitas gender sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Seperti yang terlihat saat ini masyarakat masih memiliki standar peran jenis kelamin. Masih ada batasan dalam berprofesi, bertingkah laku dan juga berpenampilan.
Dari beberapa pengertian seks di atas, dapat dilihat bahwa pengertian seks tidaklah sesempit yang selama ini para orang tua pikirkan. Pendidikan seks tidak hanya seputar hubungan kelamin dua insan. Tetapi menyangkut berbagai hal dari jenis kelamin, pengetahuan tentang alat kelamin termasuk didalamnya perawatan dan permasalahannya, serta mengenal identitas dan peran seks yang berlaku di masyarakat berikut norma, etika dan harapan masyarakat.
Dari dimensi psikologis, seksualitas berhubungan erat dengan tata cara menjalankan fungsi sebagai mahluk seksual dalam perannya diberbagai dimensi, seperti dimensi sosial, dimensi perilaku dan dimensi kultural. Hal itu senada dengan pendapat E.Saringendyanti W (1998 : 20). yang menyatakan bahwa seksualitas memiliki arti yang lebih luas menyangkut karakter dan kualitas pribadi, atau sikap dan tingkah laku seseorang. Dimensi sosial melihat hubungan seksual dengan lingkungan dan sesama manusia. Hal tersebut adalah faktor yang dapat mempengaruhi pandangan seseorang tentang seksualitas dan perilaku seks. Sedangkan dimensi perilaku berkaitan dengan perilaku seksual seseorang yang muncul karena dorongan seksual. Kemudian, dimensi kultural menunjukan perilaku seksual yang menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat.
Ada pun perkembangan tingkah laku sesuai dengan jenis kelamin menurut Jans dalam F.J. Monks, Knoers dan Siti Rahayu Haditono (2004 : 192)  dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu : (1) Faktor biologis, (2) Faktor sosial, (3) Faktor kognitif. Faktor – faktor yang dikemukakan Jans tersebut memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain, seperti dalam hal biologis, faktor – faktor biologis merupakan dasar bagi perkembangan tingkah laku spesifik jenis kelamin. Sedangkan faktor sosial memberikan pengaruh yang besar dalam mengenali identitas kelamin melalui norma -  norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Faktor kognitif merupakan faktor yang sangat penting, karena seseorang harus memahami kategori dirinya sendiri sabagai perempuan atau laki – laki.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar