Secara psikologis, kecerdasan beragama seorang anak akan
mengalami perkembangan sesuai dengan usia dan perkembangan fungsi mental
lainnya. Pada usia 0-2 tahun, kecerdasan beragama anak secara umum berada dalam
tahap reseptif (menerima) segala bentuk pengetahuan, pengalaman dan berbagai
nilai-nilai keagamaan. Sejalan dengan berkembangnya fungsi panca indra (An-Nahl
: 78), bahasa dan fungsi kognitif anak, pada tahap ini anak dapat menerima dan
memberikan respon sederhana terhadap pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai
keagamaan yang diberikan lingkungan sosialnya. Suasana social yang menghadirkan
berbagai pengetahuan keagamaan (misalnya subhanallah anak ibu sudah merangkak,
Alhamdulillah makannya banyak), pengalaman keagamaan (misalnya mengajak anak
berdo’a sebelum/sesudah makan, berdo’a ketika ada hujan atau petir, mengajak
atau memperlihatkan kegiatan berwudlu dan sholat pada anak) dan nilai-nilai
keagamaan (seperti “makannya harus dihabiskan nanti mubazir”, “ya kita
bersyukur ayah mendapatkan oleh-oleh buah-buahan). Dalam beberapa peristiwa,
anak akan meniru (imitasi) dan mengidentifikasi pengetahuan, pengalaman dan
nilai-nilai keagamaan yang telah diterimannya, terutama ketika berinteraksi
dengan teman-temannya atau lingkungan social lainnya. Suasana keagamaan yang
dihadirkan oleh lingkungan social akan sangat berpengaruh terhadap proses
imitasi dan identifikasi anak dalam menunjukkan berbagai kebiasaan berbicara,
bersikap dan berperilaku. Seluruh suasana keagamaan yang dihadirkan tersebut
akan menjadi dasar yang dipergunakan anak untuk melakukan interaksi
keberagamaan, baik untuk dirinya sendiri maupun ketika berinteraksi dengan
lingkungan social lainnya. Hal ini sekaligus menjadi dasar bagi anak untuk
mengembangkan kecerdasan beragamanya.
Pada usia 2-4 tahun, kecerdasan beragama anak mulai
mengalami perkembangan sejalan dengan luasnya interaksi social, perkembangan
bahasa dan kognitifnya. Pada usia ini, anak sudah mulai meyakini akan adanya
hal-hal yang ghaib (seperti hantu, pocong atau vampire). Kayakinan seperti ini
dalam kebanyak anak berpengaruh terhadap sebagian sikap dan perilakunya,
misalnya ketika beberapa anak usia 2 tahun, 3 tahun dan 4 tahun bermain bersama
kemudian sampai pada suatu rumah kosong, tiba-tiba mereka semua berlari
terbirit-birit sambil berkata “ada hantu di rumah itu”. Kejadian seperti ini
merupakan pertanda bahwa anak pada usia 2-4 tahun sudah menampakan kecerdasan
beragama dalam bentuk imitative-imajinatif. Seluruh pengetahuan,
pengalaman dan nilai-nilai keagamaan akan ditiru (imitasi) dan direfleksikan
dalam berbagai khayalan (imajinatif). Proses imitasi dan imajinasi keagamaan
akan sangat tergantung pada bagaimana lingkungan sosialnya memberikan
pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan pada anak-anak. Jika
lingkungan social terbiasa menyajikan pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang
berbau mistik dan kurafat maka anak akan menerima serta mengolah pengetahuan
dan pengalaman seperti itu sebagai bagian dari proses keberagamaan anak.
Pada usia 4-6 tahun, kecerdasan beragama anak juga mulai
tampak dengan bertanya tentang Tuhan itu siapa atau siapa Allah itu ? dimana
tempat tinggalnya Allah ? Allah itu suka makan atau tidak ? Berbagai pertanyaan
seperti ini menunjukkan kuatnya perkembangan kognitif anak pada tahap berpikir
kongkrit. Berbagai khayalan tentang Tuhan, Malaikat, Syetan dan hal-hal ghaib
lainnya akan diimajinasikan sesuai dengan kadar pengetahuan dan pengalaman
keagamaan yang diterima anak. Ketika anak-anak (usia 2-4 tahun) mulai meyakini
adanya hal-hal yang ghaib dan mempengaruhi pola sikap serta perilakunya
(misalnya berlari, merinding, menangis) maka pada tahap ini konsep ghaib
tentang malaikat dan Allah SWT., dapat dihadirkan dengan benar. Proses
perkembangan kecerdasan beragama seperti ini sekaligus merupakan awal
perkembangan munculnya Ikhsan, suatu konsep keberagamaan yang meyakini bahwa
Allah SWT., selalu berada dihadapan kita dan/atau senantiasa dapat melihat
setiap ucapan, sikap dan tingkah laku seseorang. Kecerdasan beragama dalam
bentuk dan konsep ikhsan akan tumbuhsertan berkembangan pada usia 2-4 tahun
jika lingkungan social dapat memberikan nuansa ihksan dalam menjalankan
keberagamaan sepanjang hidupnya. Beberapa anak pada usia ini sudah mulai
berdo’a dengan tertib, tenang (khusus) bahkan ada yang sampai menangis ketika
memohon ampun atau meminta sesuatu pada Allah SWT., Sebagian diantara mereka
sudah merasakan kehadiran adanya Allah SWT., dihadapan mereka sejalan dengan
mereka meyakini hal-hal ghaib lainnya yang juga diyakini seperti hantu dan
genderwo.
Pada tahap usia 6-8 tahun, anak akan mengalami
perkembangan yang lebih baik lagi dalam kecerdasan beragama sejalan dengan
pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan yang dialami pada tahap
sebelumnya. Walaupun dominasi masa-masa imitasi, identifikasi dan imajinasi
keagamaan masih berlangsung pada usia ini namun pergerakan yang menunjukkan
adanya perkembangan kecerdasan beragama secara lebih kompleks sudah mulai
tampak. Anak-anak sudah mulai memperdebatkan tentang kehebatan Tuhan, Malaikat,
keindahan syurga dan buruknya neraka walaupun masih dikuasai oleh berbagai
kekuatan khayalan dan imajinasinya. Perdebatan yang sifatnya imajinatif tentang
berbagai proses keagamaan akan semakin memperkuat kecerdasan beragama anak jika
suasana lingkungan keagaan dan proses interaksi keberagamaan diberikan secara
benar oleh berbagai konteks lingkungan social anak. Dalam kasus nyata, mulcul
dialog antara anak di usia 4-6 tahun sebagai berikut :
Andi berkata pada temannya “kata mamahku semua agama itu
benar dan baik, Tuhan yang disembahnya juga sama”.
Dicky menimpali Andi “Tapi kata mamahku dan bu Guru,
agama Islam yang paling baik dan benar. Tuhan Allah itu berbeda dengan Tuhannya
agama lain”.
Dialog perdebatan seperti itu menunjukkan betapa rujukan
social (social references) sangat memberikan warna berpikir, berbicara
dan bersikap seorang anak. Preperensi anak dalam beragama akan diwarnai oleh
siapa (lingkungan social) yang telah memberikan dan mengisi pengetahuan,
pengalaman dan nilai-nilai keagamaan pada seorang anak. Proses ini sekaligus
menjadi penjelas bahwa fitrah (kecenderungan yang bersifat potensial) pada seorang
anak akan diwarnai oleh orang tua atau orang dewasa yang akan mempengaruhi
anak. Proses seperti ini dapat dikategorikan sebagai bentuk refleksi
keberagamaan. Refleksi keberagamaan
dilakukan anak dengan cara mengolah dan menunjukkan keyakinan tertentu sesuai
dengan pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keberagamaan yang pernah
diterima dan dialami secara langsung. Dalam beberapa hal dan peristiwa,
refleksi keberagamaan anak menunjukkan reflesi secara langsung dari konteks
social yang telah membina dan mengisi pengatahun serta pengalaman
keberagamannya. Berbagai proses keberagamaan seperti khusu dan tertib dalam
berdoa, berwudlu, sholat serta kebiasaan bertutur kata dan berakhlak yang baik
akan ditunjukkan oleh anak sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang
diperoleh dari lingkungan social, terutama orang dewasa yang memiliki peran dan
pengaruh dalam pendidikan agama pada anak.
Banyak rujukan pemikiran para ahli terkait dengan
perkembangan keberagamaan anak. Arnold Gessel mengungkapkan bahwa anak pada
usia bayi sudah mempunyai rasa ketuhanan. Rasa ke-Tuhanan ini sangat memegang peranan penting dalam
diri pribadi anak. Perasaan ketuhanan pada usia ini merupakan fundamen bagi
pengembangan perasaan ketuhanan periode berikutnya. Seiring dengan perkembangan
kognisi, emosi, dan bahasa anak maka orang tua mejadi lingkungan pertama untuk
untuk membantu perkembangan kesadaran beragamanya. Dalam konsepsi lain, Abin
Syamsuddin (seperti dikutif Syamsu Yusuf) menggungkapkan kesadaran beragama
pada anak usia 2-6 tahun yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut :
-
Sikap keagamaannya bersifat reseptif (menerima) meskipun banyak bertanya
-
Pandangan ketuhanannya bersifat anthropormorph
(dipersonifikasikan )
-
Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum
mendalam)meskipun mereka telah melakukan atau berpartisipasi dalam berbagai
kegiatan ritual
-
Hal ketuhanan dipahamkan secara ideosyncritic (menurut
khayalan pribadinya ) sesuai denga taraf berpikirnya yang masih egosentrik
(memandang segala sesuatu dari sudut dirinya)
Zakiah Darajat seperti yang dikutif
Syamsu Yusuf mengatakan bahwa umur taman kanak – kanak adalah umur yang paling
subur untuk menanamkan rasa keagamaan
pada anak – anak. Umur untuk menumbuhkan kebiasaan- kebiasaan yang
sesuai dengan ajaran agama. Melalui permainan dan perlakuan dari orang tua dan
guru. Keyakinan dan kepercayaan guru taman kanak- kanak akan mewarnai pertumbuhan agama pada anak.
Hurlock memberikan pandangan
lain bahwa untuk membuat anak kecil mengerti agama, konsep keagamaan diajarkan
dalam bahasa sehari-hari dengan contoh dari kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian konsep menjadi konkret dan
realitas. Hurlock juga berpendapat pada rentang usia ini (3-5 Tahun) kebanyakan
anak mulai bertanya tentang agama. Misalnya “Siapakah Tuhanku” , “Dimana surga
itu ? “, Apa arti kematian ? “,”Apakah Malaikat itu ?”, dan lain
sebagainya.
Perkembangan konsep keberagamaan pada
anak sebenarnya merupakan bagian potensi yang telah diberikan Allah SWT., pada
seorang anak ketika dilahirkan, bahkan ketika di alam ruh. Al – Ghazali berpendapat bahwa anak
dilahirkan dengan membawa fitrah yang seimbang dan sehat. Kedua orangtuanyalah
yang memberikan agama kepada mereka. Demikian pula anak dapat terpengaruh oleh
sifat – sifat yang buruk. Ia memepelajari sifat – sifat yang buruk dari
lingkungan yang dihidupinya, dari corak hidup yang memberikan peranan
kepadanyadan dari kebiasaan – kebiasaan yang dilakukannya. Ketika dilahirkan,
keadaan tubuh anak belum sempurna. Kekurangan ini diatasinya dengan latihan dan
pendidikan yang ditunjang dengan makanan. Demikian pula dengan tabiat yang
difitrahkan kepada anak, yang merupakan kebajikan yang diberikan AL –Khalik
kepadanya. Tabiat ini dalam keadaan berkekurangan. ( dalam keadaan belum
berkembang dengan sempurna ). Dan mungkin dapat disempurnakan serta diperindah
dengan pendidikan yang baik, yang oleh Al –Ghazali dipandangsebagai salah satu
proses yang penting dan tidak mudah.
Pendapat lain mengungkapkan bahwa
Menurut, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting diantaranya
insting keagamaan (Woodworh dalam Jalaluddin, 2001 : 28). Belum terlihatnya
tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang
kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna. Konsepsi tersebut diperluas
konsepnya oleh Thomas yang mengemukakan teori Four Wishes. Menurut
Thomas, manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki 4 keinginan yaitu : keinginan
untuk perlindungan ( security
), keinginan akan pengalaman baru ( new experience ), keinginan
untuk mendapat tanggapan ( response ), dan keinginan untuk
dikenal ( recognation ). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari
keempat keinginan itu, maka sejak bayi dilahirkan hidup dalam ketergantungan,
melalui pengalaman – pengalaman yang diterimanyadari lingkungan itu kemudian
terbentulah rasa keagamaan pada diri anak. Selain konsep teoritik di atas,
perkembangan keberagama anak dapat dilihat dari karakteristik mental sesuai
dengan usia kalender anak. Karakteristik perkembangan konsep keberagamaan dapat
digambarkan sebagai berikut:
· 1 TAHUN
-
Anak belum memahami konsep agama, baru pada tahap meniru
saja
-
Mampu menirukan gerakan – gerakan sholat walaupun masih
sangat terbatas
-
Mengikuti do’a yang diajarkan oleh orang tuanya tanpa
pemahaman
·
2 Tahun
-
Anak belum mengetahui konsep Tuhan dengan benar
-
Hanya tahu dan mendengar dari cerita orang tua dan orang
lain
-
Dapat membiasakan berbuat baik, bertutur kata yang
mengandung nilai agama
-
Dapat diikut sertakan dalam kegiatan ibadah daan sudah
bisa dilarang jika berbuat salah
· 3 – 6 Tahun
-
Belum memahami atau megenal Tuhan tetapi suka bertanya
tetang keberadaan-Nya
-
Pemahamannya mengenai hal-hal gaib dipengaruhi oleh daya
fantasi dan emosinya
-
Menyenangi cerita-cerita tidak masuk akal (tahap dongeng)
-
Senang meniru kegiatan ibadah dari orang dewasa atau
orang lain
-
Bersifat
egosentris, misalnya berdo’a adalah cara untuk mecapai kehendak
· 6-8 Tahun
-
Anak berbuat baik karena ingin mendapat pujian
-
Anak sudah dapat menyesuaikan diri dengan yaag diinginkan
kelompok sosialnya dan mana yang harus dijauhi
-
Anak mulai patuh terhadap tuntutan atau aturan orang tua
dan lingkungan sosialnya
Memahami konsep kegamaan pada anak – anak berarti
memahami sifat agama pada anak – anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki,
maka sifat agama pada anak – anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on
outhority yaitu konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor
dari luar diri mereka. Bagi anak, sangat mudah mempelajari atau menerima ajaran dari orang dewasa,
walaupun mereka belum manyadari sepenuhnya ajaran tersebut. Berdasrkan hal itu,
maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas :
1. UNREFLECTIVE
Istilah unreflective menurut
John Eckol ( 1995 ) dapat dimaknai sebagai tidak mendalam, tidak / kurang dapat
memikirkan secara mendalam atau anak tidak dapat merenungkannya. Artinya salah
satu sifat anak dalam memahami pengetahuan / ajaran agama, tidak merupakan hal
yang harus dipedulikan dengan serius. Kalaupun mereka belajar dan
mengerjakannya, itu mereka lakukan dengan sikap dan sifat dasar kekanak – kanakannya.
2. EGOSENTRIS
Dalam mempelajarinya nilai –nilai
agama, sering kita temukan anak belum mampu bersikap dan bertindak konsisten.
Terkadang suatu ketika anak menjadi sangat rajin dan antusias ketika mengikuti
dan mengerjakan kegiatan keagamaan, namun di saat yang lain kitapun tidak
jarang menemukan perilaku sebaliknya.
3. MISUNDERSTAND
Ketika kita mengenalkan berbagai hal
yang berkaitan dengan nilai – nilai keagamaan terkadang hal misunderstand
sering muncul pada diri anak anak, yaitu salah persepsi dalam memahami makna
dari sebuah pengetahuan agama. Apalagi jika yang kita bicarakan adalah sesuatu
yang abstrak. Misalnya ketika kita membicarakan keberadaan Allah. Semua itu
terjadi karena belum sempurnanya komponen psikologis dan fisiologis anak.
Seperti tang diungkapkan oleh sistem pendidikan neo humanis dalam masalah
spritualitas dikatakan bahwa : ” bagi anak kecil, segala – galanya adalah
hidup, dan menjadi sumber kekaguman” ( I. Ketut, 1999 : h. 84 ).
4. VERBALIS DAN
RITUALIS
Anak usia taman kanak – kanak pada
usia 3 –6 tahun, berada pada fase perkembangan kosa kata yang sangat pesat.
Seperti yang diungkapkan oleh Elizabeth
B.H. ( 1997 : 188 ) ; setiap anak belajar berbicara, mereka berbicara
hampir tidak putus – putusnya. Keterampilan baru yang diperoleh, menimbulkan
rasa penting bagi mereka. Kondisi seperti ini dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan nilai – nilai agama pada anak, dengan cara memperkenalkan
pengetahuan agama berupa istilah, bacaan dan ungkapan yang bersifat agamis
seperti hafalan – hafalan do’a dan surat – surat pendek dalam Al –qur’an, nama
– nama Malaikat, dan lain sebagainya.
5. ANTHROMORPHIS
Pada umumnya, konsep keagamaan pada
anak berasal dari hasil pengalamannya saat anak berhubungan dengan orang lain.
Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa Tuhan itu
sama dengan manusia. Konsep ke – Tuhanan yang mereka miliki berdasarkan fantasi
masing – masing. Seperti contoh : menurut penelitian Praff, pandangan anak yang
berusia 6 tahun yaitu Tuhan mempunyai
wajah seperti manusia.
6. IMITATIF
Dalam kehidupan sehari – hari dapat
diamati bahwa tindak keagamaan pada diri anak diperoleh dari meniru ( imitatif
). Para ahli jiwa menganggap bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang
ulung. Sifat peniru ini merupakan modal
dasar yang positif dalam pendidikan
kegamaan pada anak. Anak melaksanakan kegiatan seperti berdo’a dan sholat
merupakan hasil dari pembiasaan atau pengajaran yang intensif yang mereka lihat
dari lingkungan sekitarnya.
7. RASA HERAN
Rasa heran dan kagum merupakan tanda
dan sifat keagamaan pada anak namun belum bersifat kritis dan kreatif seperti
layaknya rasa kagum pada orang dewasa. Anak hanya kagum pada keindahan
lahiriahnya saja. Rasa kagum pada anak
sering dapat disalurkan melalui cerita – cerita yang menimbulkan rasa takjub.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar